1. Sikap saling menerima, menghargai nilai- nilai, keyakinan, budaya, cara pandang yang berbeda tidak otomatis akan berkembang sendiri. Apalagi karena dalam diri seseorang ada kecenderungan untuk berharap orang lain menjadi seperti dirinya (Ruslan Ibrahim, 2008).
Parafrasa:
Menjunjung tinggi dan menghormati norma norma kehidupan, kepercayaan, kebudayaan dan presfektif orang lain yang berbeda tidak dapat berkembang dengan sendirinya. Terlebih lagi dalam setiap individu memiliki kecondongan untuk mengharapkan orang lain melakukan hal sama dengan dirinya.
2. Secara ideal, pluralisme kebudayaan multikulturalisme berarti penolakan terhadap kefanatikan, purbasangka, rasialisme, tribalisme, dan menerima secara inklusif keanekaragaman yang ada. (Haviland, 1988).
Parafrasa :
Pluralisme kebudayaan dalam multikulturalisme dapat diartikan dengan adanya penentangan terhadap keyakinan berlebihan kepada salah satu agama atau kepecayaan tertentu, kecurigaan berlebihan, menganggap ras (keturunan) juga suku bangsa sendiri paling unggul dan dengan mengajak untuk dapat menerima semua perbedaan.
3. Fay (1998) mengatakan dalam dunia multikultural harus mementingkan adanya bermacam perbedaan antara yang satu dengan yang lain dan adanya interaksi sosial di antara mereka.
Parafrasa :
Dalam multikulturalisme selayaknya untuk mengutamakan dan menerima beragam perbedaan sehingga dapat saling behubungan dari satu individu dengan individu lainnya, individu dengan kelompok, ataupun dari satu kelompok dengan kelompok lainnya.
4. Banks (2001) berpendapat bahwa pendidikan multikultural merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang mengkaji dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.
Parafrasa :
Pendidikan multikultural pada hakikatnya rangkaian keyakinan dan definisi yang dapat meninjau dan mengukur betapa pentingnya perbedaan budaya dan etnis dalam pembentukan tradisi, pemahaman dan pengalaman hubungan sosial, peran setiap individu, peluang dan kesempatan pendidikan setiap orang, kelompok ataupun negara.
5. Dengan pendidikan multikultural seseorang sejak dini mampu menerima perbedaan, kritik, dan memiliki rasa empati, toleransi pada sesama tanpa memandang status, kelas sosial, golongan, gender, etnis, agama maupun kemampuan akademik (Farida Hanum, 2005).
Parafrasa:
Pendidikan multikultural yang ditanamkan sejak awal akan dapat membuat setiap orang lebih memahami arti keragaman, perbedaan pandangan, dan memiliki sikap tenggang rasa, toleransi kepada orang lain tanpa melihat perbedaan dari kedudukan, status sosial, golongan, jenis kelamin, keturunan, agama dan kepercayaan maupun tingkat pendidikannya.
1. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, tingkat kecenderungan kasus gangguan kesehatan mental sebanyak 6% dari usia 15 tahun keatas. Untuk menurunkan angka tersebut layanan kesehatan mental harus dibuat semaksimal mungkin agar masyarkat memiliki tingkat kesadaran yang tinggi.
2. Namun nyataannya penggunaan layanan kesehatan mental belum maksimal, karena terhalang dengan stigma penderita gangguan mental yang datang dari individu maupun lingkungan sosial.
3. Menurut Goffman, 1963; Lestari & Wardhani, 2014 Stigma terdiri dari dua komponen, yaitu stigma publik dan stigma individu. Stigma publik adalah pandangan dan reaksi negatif yang dilakukan masyarakat pada penderita gangguan jiwa. Sedangkan, stigma individu adalah stigma masyarakat yang diterima dan dimengerti oleh individu penderita yang bisa menurunnya rasa percaya diri dan harga diri.
4. Menurut Suryani pada tahun 2013. Di Indonesia, stigma yang dilakukan oleh masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa masih sangat kuat, sehingga penderita merasa terkucilkan. Sedangkan stigma yang dilakuan oleh individu membuat penderita menolak diagnosa gangguan jiwa dan pada akhirnya penderita menolak pengobatan.
5. Dapat disimpulkan dari adanya hubungan antara stigma masyarakat dan individu untuk melakukan pengobatan atas gangguan jiwa yaitu dengan, mengedukasi publik mengenai kesehatan mental dan apakah kegunaan layanan kesehatan mental itu, selain menurunkan stigma, juga dapat meningkatkan kesediaan individu untuk mencari dan menggunakan layanan kesehatan mental.